0
0
JAKARTA – Kasus turbulensi penerbangan terparah terjadi pada Selasa (21/5/2024) pada penerbangan Singapore Airlines. Peristiwa nahas yang menyebabkan satu orang tewas dan 30 orang luka-luka ini diyakini disebabkan oleh perubahan iklim.
Secara umum, turbulensi biasa terjadi selama penerbangan, namun turbulensi parah yang menyebabkan cedera atau kematian sangat jarang terjadi.
Dipublikasikan ABC.net.au Rabu (22/5/2024) Turbulensi di ketinggian 37.000 kaki tersebut diyakini disebabkan oleh perubahan iklim yang mulai menyebabkan kenaikan suhu global. Para ilmuwan juga mengatakan bahwa beberapa penyebab turbulensi semakin meningkat.
Faktanya, turbulensi disebabkan oleh perubahan konfigurasi udara yang dilalui pesawat. Menurut Profesor Todd Lane, pakar ilmu atmosfer di Universitas Melbourne, jika membayangkan langit sebagai lautan, turbulensi mirip dengan gelombang.
Turbulensi yang dialami pesawat terbang terjadi ketika angin di atmosfer berubah dari horizontal menjadi naik dan turun. Pesawat yang terbang dengan mulus akan mulai bergerak naik turun secara dramatis karena angin naik dan turun, kata Profesor Lane.
Penyebab utama turbulensi adalah gunung, badai, dan aliran jet. Pilot dapat merencanakan rute untuk menghindari arus udara ke atas di pegunungan atau, jika memungkinkan, di sekitar badai.
Sedangkan jet stream merupakan angin kencang di lapisan atas atmosfer yang dilalui pesawat. Di atas dan di bawah aliran jet terdapat pergeseran angin yang kuat, sehingga kecepatan angin berubah secara signifikan seiring ketinggian. Di daerah dengan pergeseran angin kencang, terjadi banyak turbulensi. “Jadi di atas dan di bawah wilayah aliran jet ini, banyak terjadi apa yang biasa kita sebut turbulensi udara jernih, karena tidak ada awan,” kata Profesor Lane.
Saat ini belum diketahui jenis turbulensi apa yang menyebabkan penerbangan Singapore Airlines terganggu. Layanan pelacakan FlightRadar24 mengatakan kepada Reuters bahwa ada badai pada saat itu.
