Kasus Bullying Antar-Anak Sekolah Terus Berulang, Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mencegahnya?

0 0
Read Time:5 Minute, 14 Second

sarkarinaukrirojgar.com, Jakarta – Kasus perundungan satu demi satu tengah menyita perhatian publik. Salah satu kasus terbaru dilakukan oleh beberapa pelajar di Binus International School Serpong. Seorang siswa dipukuli oleh rekan-rekannya hingga babak belur. 

Kasus perundungan yang dikhawatirkan ABH begitu serius hingga polisi turun tangan mengusut kasus tersebut. Pada Jumat, 1 Maret 2024, Polres Tangeran Selatan (Tangsel) akhirnya menetapkan empat tersangka dan delapan siswa SMA Binus Internasional Serpong sebagai anak bermasalah dengan hukum.

Ini jelas bukan kasus pertama. Evaluasi nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa satu dari tiga siswa atau 36,1 persen siswa berpotensi menjadi pelaku perundungan. Kemendikbud pun mengaku telah menangani 88 laporan perundungan sepanjang tahun 2022 hingga saat ini.

“Sebanyak 39 laporan di tingkat SMA, 30 laporan di tingkat PAUD/SD, dan 18 laporan di tingkat Perguruan Tinggi,” kata Rusprita Putri Utami, Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam keterangannya. keterangan tertulis kepada Tim Lifestyle sarkarinaukrirojgar.com, Jumat 1 Maret 2024.

Saking kelamnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyebut bullying sebagai salah satu dosa terbesar dalam dunia pendidikan, selain kekerasan seksual dan intoleransi. Apa sebenarnya yang membuat kasus perundungan terhadap anak sekolah ini tidak bisa dihentikan?

Psikolog anak dan keluarga Roslina Verauli mengatakan, hal ini disebabkan banyak faktor.  Mengutip Teenager 911 New Edition, dari sudut pandang perilaku, faktor dark triad atau sisi gelap kepribadian berperan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keterkaitan pola kepribadian Machiavellian dengan psikopati juga mempunyai pengaruh besar.

“Machiavellianisme merupakan bentuk kepribadian yang kurang mementingkan moralitas dan kurang peka dalam hubungan interpersonal. “Psikopati merupakan pola kepribadian yang cenderung mengeksploitasi orang lain dalam hubungan interpersonal,” jelasnya.

Prinsipnya, kata Vera, perundungan bisa terjadi asalkan ada lebih dari satu orang yang berkumpul. Oleh karena itu, penindasan sering disebut sebagai “sisi gelap” dalam hubungan sosial. Bullying juga dapat terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara seseorang atau sekelompok orang terhadap individu lain, sehingga menimbulkan dampak yang merugikan secara fisik, mental, dan psikososial.

Sementara itu, Prita, sapaan akrab Rusprita, menjelaskan sederet celah yang dimanfaatkan para pelaku intimidasi untuk mengambil tindakan. Pertama, ini media sosial. Mereka sering menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan yang mempermalukan atau mempermalukan korban di depan umum.

“Perjuangan ini bisa dieksploitasi karena seringkali sulit bagi pihak berwenang untuk memantau atau mengontrol interaksi di media sosial,” ujarnya.

Celah di lingkungan sekolah yang sering dieksploitasi oleh para pelaku intimidasi adalah budaya sekolah yang tidak memprioritaskan kesehatan mental dan lemahnya pengawasan. Mereka merasa lebih mudah untuk bertindak tanpa takut akan konsekuensinya.

Kurangnya pendidikan dan kesadaran juga menyebabkan terjadinya intimidasi. Menurut Pritchard, banyak orang yang tidak menyadari adanya intimidasi atau bahkan menganggapnya sebagai hal biasa. Kurangnya pendidikan tentang pentingnya menghargai orang lain dan menyadari dampak negatif bullying juga bisa menjadi kesenjangan.

Prita mengatakan, pihaknya akan terus memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan kekerasan, termasuk perundungan di bidang pendidikan, melalui terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan ( PPKSP) akan dimulai pada bulan Agustus. 8 Tahun 2023 sebagai angsuran ke-25 dari Kebijakan Merdeka Belajar.

Salah satu mandatnya adalah membentuk gugus tugas TPPK dan PPKSP untuk menjamin respon cepat ketika kekerasan terjadi di sektor pendidikan. Hingga Jumat, 1 Maret 2024, sudah lebih dari 356.000 satuan pendidikan membentuk TPPK dan 301 provinsi dan kabupaten/kota membentuk gugus tugas PPKSP.

Inisiatif lainnya adalah meluncurkan program pencegahan perundungan bernama Roots yang bekerja sama dengan UNICEF sejak tahun 2021. Ditujukan untuk sekolah menengah pertama, sekolah menengah pertama, dan sekolah kejuruan, program ini telah menjangkau 10.718 satuan pendidikan dan menghasilkan 20.140 guru sebagai fasilitator dan 51.549 siswa sebagai penggerak perubahan. Selain membekali guru dan siswa dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah penindasan, program Roots dirancang untuk mendorong sekolah membentuk tim pencegahan dan tanggap kekerasan.

“Survei bullying yang dilakukan oleh media U-Report UNICEF pada tahun 2022 menemukan bahwa 42 persen siswa mengatakan program Roots membawa perubahan positif bagi lingkungan sekolah mereka. Selain itu, 32 persen siswa merasa penindasan berkurang setelah intervensi program Roots, kata Pritchard.

Meski kekerasan terus berlanjut, pemerintah telah menyiapkan perangkat hukum yang harus dipatuhi sekolah, mulai dari menindaklanjuti laporan hingga memutuskan sanksi bagi pelaku, yang terdiri dari sanksi ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan berupa teguran tertulis.

Sanksi sedang berupa tindakan pendidikan yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling singkat lima hari sekolah dan paling lama sepuluh hari sekolah. Terakhir, adanya sanksi administratif tegas bagi siswa berupa pemindahan siswa ke satuan pendidikan lain.

“Sanksi administratif yang berat berupa pengusiran dari sekolah merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan kepala sekolah, mengingat pelaku melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan korban mengalami luka fisik berat, luka fisik permanen, atau meninggal dunia cedera psikologis,” jelas Prita.

“Relokasi sekolah bagi pelaku tidak bisa sekadar menjadi pilihan, melainkan harus atas rekomendasi dan difasilitasi oleh gugus tugas dan/atau dinas pendidikan,” imbuhnya.

Kalaupun harus pindah sekolah, siswa tersebut harus mengikuti program konseling sebelum proses pembelajaran di sekolah baru dimulai, tambahnya. Gugus Tugas akan menunjuk lembaga atau lembaga daerah yang memiliki kewenangan di bidang kesehatan, sosial dan/atau perlindungan anak, seperti UPTD PPA atau lembaga lain yang sesuai, untuk melaksanakan program pendampingan.

 

Sementara itu, Vera mengingatkan, hukuman bagi pelaku intimidasi tidak boleh disertai kekerasan jika tidak mau mundur. “Mereka membutuhkan pendekatan yang lebih positif, terutama untuk harga diri mereka, dorongan mereka untuk berprestasi dan dorongan mereka untuk berkreasi,” katanya.

Dalam hal mengasuh anak, orang tua lebih terlibat dalam hubungan yang hangat dan positif dengan anak-anaknya. Memilih pertemanan yang sehat dan bersosialisasi sangat penting karena seiring bertambahnya usia anak-anak dan remaja, otak mereka hanya menerima reaksi emosional dan oleh karena itu mereka mudah dipengaruhi oleh teman.

“Jika mereka tergabung dalam suatu geng atau kelompok teman sebaya, setiap anak akan “berbaur” menjadi satu kelompok yang bersatu. Menjadi kepribadian kelompok. Ketika seorang gangster dikejar, tindakannya menjadi seperti gangster dan bahkan eskalasi agresi meningkat dan mengambil bentuk “Saya tidak percaya dia lolos dengan kebrutalan, yang sangat berbeda dengan kepribadiannya sehari-hari,” katanya.

Orang tua pelaku intimidasi perlu dilibatkan, begitu pula konselor sekolah dan psikolog. Tujuannya adalah untuk menekankan sikap positif di antara semua pelaku intimidasi dan mengalihkan tanggung jawab atas tindakan mereka kepada korban dan keluarganya.

“Dalam kasus-kasus ekstrem di mana terjadi kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik, anak yang terkena dampak harus menghadapi konsekuensi hukum. Bisa berupa hukuman minimal atau bahkan tanggung jawab hukum bagi pelaku dan keluarganya,” tutupnya. .

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %