sarkarinaukrirojgar.com, Jakarta Rupiah melemah pada Kamis 12 September 2024. Rupiah ditutup melemah 37 poin terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan Kamis (12/9), meski awalnya melemah 50 poin ke 15.439 dari sebelumnya ditutup di 15.402.
“Pada perdagangan hari ini, Rupiah mengalami perubahan namun tetap menguat antara 15.340-15.450,” kata Direktur PT. Forexindo Futures Riba, Ibrahim Assuaibi dalam pidatonya di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Pelemahan Rupiah terjadi saat AS merilis data inflasi Agustus 2024 sebesar 2,5%.
“Meskipun kenaikan tingkat inflasi CPI terus berlanjut, pembacaan utama menunjukkan bahwa inflasi mungkin lebih kuat dari perkiraan sebelumnya, yang mungkin memerlukan kenaikan pada The Fed,” katanya.
CME Fedwatch sekarang menunjukkan bahwa ekspektasi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga hanya sebesar 25 poin ketika mereka bertemu minggu depan telah meningkat tajam setelah data inflasi AS terbaru, sementara pertaruhan terhadap penurunan suku bunga sebesar 50 bps telah berkurang lebih dari setengahnya.
Namun menjelang pertemuan The Fed minggu depan, pasar fokus pada perkiraan kenaikan suku bunga pada hari Kamis, karena beberapa tanda inflasi.
Ibrahim menambahkan, “Suku bunga yang rendah tidak baik bagi mata uang asing terhadap dolar AS, karena hal tersebut mengindikasikan semakin buruknya mata uang AS dari waktu ke waktu,” kata Ibrahim. Selain itu, investor juga menunggu keputusan Bank Sentral Eropa mengenai suku bunga yang akan diumumkan hari ini.
Pasar juga akan menantikan komentar Presiden ECB Christine Lagarde pada pukul 12:45 waktu setempat untuk mengonfirmasi apakah kenaikan suku bunga akan terjadi pada bulan Oktober dan Desember.
Seperti diketahui, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan segera dilantik sebagai presiden dan wakil presiden baru periode 2025-2029.
Ibrahim menambahkan, pemerintahan Prabowo-Gibran akan menghadapi tantangan iklim politik yang terus memanas, terutama di Timur Tengah dan Eropa yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
“Pemerintah harus bergerak maju dalam membuat rencana perekonomian yang terukur dan mampu merespon setiap tren internasional dengan kebijakan yang cerdas dan efektif, untuk melindungi kepentingan negara,” ujarnya. Ketidakstabilan politik menyebabkan harga minyak meningkat tajam di seluruh dunia, yang memicu inflasi global. Selain itu, bank sentral negara-negara maju tidak mau menurunkan suku bunga sehingga menyebabkan krisis keuangan global yang menimpa negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Akibat krisis ekonomi, Tiongkok menjadi salah satu mitra dagang Indonesia.
Hal ini berdampak pada barang Indonesia ke luar negeri, karena dapat memaksa perdagangan luar negeri yang menjadi salah satu hal yang menarik perhatian perekonomian negara.