slot jepang
0 0
Read Time:3 Minute, 34 Second

sarkarinaukrirojgar.com, Jakarta – Indonesia tetap berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, salah satunya berasal dari sektor energi, dengan mengembangkan energi terbarukan, menerapkan konservasi energi, dan menerapkan teknologi bersih.

Salah satu upaya penerapan teknologi bersih adalah pengembangan dan penggunaan Carbon Capture and Storage dan Carbon Capture Use and Storage (CCS/CCUS).

“Saat ini total terdapat 15 proyek CCS/CCUS di Indonesia dengan target online pada tahun 2026 – 2030. Ada dua cekungan yang sedang digalakkan pemerintah untuk menjadi hub CCS di kawasan Asia Timur dan Australia, seperti Sunda Asri. cekungan dan Cekungan Bintuni,” kata Ariana Soemanto, Direktur Pengembangan Industri Hulu Migas saat sesi migas pada pertemuan Bilateral Energy Consultation (INBEC) antara Indonesia dan Norwegia di hotel House Pullman Jakarta, Senin, 1 Juli 2024. demikian keterangan resmi, Selasa (7/02/2024).

Indonesia diketahui memiliki cekungan sedimen terluas di kawasan Asia Tenggara. Indonesia mempunyai potensi sumber daya penyimpan karbon di 20 cekungan dengan kapasitas 573 gigaton akuifer garam dan 4,8 gigaton cadangan migas yang terkuras di berbagai wilayah di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Ariana juga menjelaskan, program CCS di Indonesia terbagi menjadi dua opsi. Opsi pertama adalah menyelenggarakan CCS berdasarkan Perjanjian Kerjasama Migas.

Kedua, CCS dapat dikembangkan sebagai industri tersendiri, melalui izin pemantauan zona sasaran injeksi dan izin kegiatan penyimpanan karbon.

Untuk mendukung pengembangan CCS/CCUS, pemerintah juga telah menerapkan sejumlah langkah kebijakan, antara lain pembentukan National Center of Excellence CCS/CCUS bersama pusat penelitian dan universitas, sehingga memperkuat kerja sama internasional di bidang CCS/CCUS. serta menyusun peraturan produksi. dan kebijakan.

“Saat ini telah diterbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2023 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 yang memberikan landasan hukum yang kokoh bagi pengembangan dan pelaksanaan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) di Indonesia, kata dia. 

 

Merujuk laman Environment-indonesia.com, jejak karbon merupakan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia, termasuk produksi energi, transportasi, dan industri. Emisi gas rumah kaca merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim dan pemanasan global.

Perubahan iklim akibat pemanasan global telah menjadi perhatian utama saat ini bagi semua negara yang membutuhkan tindakan drastis untuk melindungi dan merawat bumi. Ada banyak faktor penyebab terjadinya krisis perubahan iklim, salah satunya adalah jejak ekologis.

Pengaruh emisi gas rumah kaca terhadap perubahan iklim

Emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global, yang meningkatkan suhu global, mencairkan es, dan menyebabkan perubahan pola cuaca yang ekstrem.

 

Merujuk laman dlh.slemankab.go.id: faktor utama yang mendorong terjadinya efek rumah kaca adalah konsentrasi karbon dioksida dan gas lainnya di atmosfer. Peningkatan karbon dioksida di Bumi disebabkan oleh pembakaran bahan bakar minyak dan zat sejenis.

Energi yang diserap bumi kemudian dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah. Namun, sebagian besar material inframerah yang dipantulkan dari permukaan bumi terhalang oleh awan. Selain itu juga diawetkan dengan bahan yang mengandung karbon dioksida (CO2). dan kembali ke permukaan bumi.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah mempunyai komitmen kuat dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditegaskan dalam dokumen Enhanced National Contribution (E-NDC).

“Indonesia baru-baru ini menyerahkan Hibah Pembangunan Nasional (NDC). kata Menkeu pada acara Southeast Asia Development Symposium (SEADS) 2023: Imaging a Net Zero ASEAN, di Bali, Kamis (30/3/2023).

Menurut Menkeu, dampak perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang harus diatasi bersama. Sebagai negara yang teridentifikasi rentan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016, yang didalamnya terdapat komitmen Kontribusi Nasional (NDC) dan menjadikan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tahun 2020. .- 2024.

Dalam dokumen NDC, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang merugikan lingkungan, dengan penurunan sebesar 29 persen dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Selanjutnya, target tersebut ditingkatkan menjadi 31,8 persen dengan upaya sendiri dan menjadi 43,2 persen dengan dukungan internasional. Pendanaan iklim

Namun, untuk mewujudkan janji tersebut, pembiayaan, seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), merupakan alat yang sangat penting. Berdasarkan perkiraan, total pendanaan iklim yang dibutuhkan dalam E-NDC adalah Rp 4.200 triliun.

“Tidak ada jaminan tanpa sumber daya pendukung, dan berdasarkan perkiraan total pendanaan iklim yang dibutuhkan E-NDC mencapai Rp 4.200 triliun, mungkin kalau saya katakan dalam rupiah sekitar $281 miliar hingga tahun 2030,” kata Sri Mulyani.

 

 

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %