sarkarinaukrirojgar.com, Jakarta – Pelunasan utang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap debitur. Namun jika ada keadaan dimana debitur tidak dapat dihubungi, tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia maka menimbulkan pertanyaan pribadi.
Kitab Sirajut Thalibin karya ulama Indonesia Syekh Ihasan Jampes menjelaskan bahwa menurut Imam Ghazali, harta pinjaman sebaiknya dikembalikan jika memungkinkan.
Firman Tuhan
Artinya:
“Demi harta dosa hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya bila memungkinkan” (Ihsan Muhammad Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr, n.d.], 161).
Kegagalan mengembalikan harta benda akan menimbulkan dosa, sebagaimana dijelaskan oleh Guru Besar Fiqih Mu’amalah STAI Sidogiri Ustaz Abdul Wahid Al-Faizin yang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk ke dalam dosa ghashab yaitu mengambil harta milik seseorang tanpa izin.
Namun jika debitur tidak mampu melunasinya karena sebab-sebab tertentu, seperti kekurangan harta atau kemiskinan, maka ia harus meminta pengampunan kepada pemberi pinjaman.
Jika orang tersebut tidak diketahui keberadaannya atau almarhum telah meninggal dunia, Imam al-Ghazali menawarkan untuk berdonasi atas nama pihak yang bersangkutan, jika memungkinkan.
Hal ini tertuang dalam tafsir kitab Sirajut Thalibin (Ihsan Muhammad Dahlan Jampes, Beirut, Darul Fikr, hal. 161), seperti dilansir NU Online pada Jumat, 5 Juli 2024.
Facebook dan Facebook
Artinya:
“Jika Anda tidak dapat memperolehnya kembali karena kurangnya harta benda dan karena masyarakat miskin tidak mempunyai pengganti, Anda harus meminta persetujuan dari mereka yang terlibat. Yang terlibat tidak tahu atau mati, tolong berikan kepada yang terlibat jika memungkinkan.
Menurut Syeikh Ihsan Jampes, sedekah yang diberikan harus ditujukan untuk menggantikan harta yang menjadi tanggung jawab pemiliknya. Jadi bukan sedekah yang mengatasnamakan dia.
Selain itu Ibnul Qayyim menjelaskan mengapa perlu memberi atas nama pemilik, beliau berkata:
فَإِنِ تَعَذَّرَ ِكَلِكَ, تَصَدَّقَ بِهِ عَنْهُ, فَإِنِ Tuhan memberkatimu. نَانَ لَهُ. Semoga Tuhan mengasihaninya dan memberinya kedamaian dan keberkahan.
Artinya:
“Jika kamu merasa kesulitan mengembalikan harta itu, berikanlah kepadanya atas nama pemiliknya. Hadiah yang kamu berikan akan menjadi miliknya jika dia menolak menuntut orang yang mengambil hartamu itu sebagai hadiah baginya. cukuplah untuk menuntut harta itu, dan pahala pemberian itu ada pada orang yang memberikannya kepada nabi” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Zadul Ma’ad, [Beirut, Mu’assasah Al-Risala: 1996), jilid V, hal 690).
Jika hal di atas masih belum bisa dilakukan, maka solusi akhir Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
klik banyak dengan banyak dan rujuk kembali kepada Tuhan
Artinya:
“Jika tidak mampu, perbanyaklah amal shaleh dan taqwa serta bertawakal kepada Allah agar pada hari kiamat orang yang bersangkutan melepaskan hak-hakmu” (Ihsan, 161).
Syekh Ihsan Jampes sangat menguatkan pesan Imam Al-Ghazali tentang pentingnya sopan santun dalam menyeimbangkan segala kemungkinan ketidakadilan terhadap hak milik individu.
Menurutnya, kebaikan itu harus banyak, sehingga melampaui kebutuhan untuk menimbang-nimbang untuk menuntut hak-hak yang ada. Hal ini menunjukkan betapa beratnya tanggung jawab terhadap hak milik pada hari kiamat.
تفيز تفيز عنك وتعويق في زينازين عرباب المثالم … ولتكن تكن تكن تكن حسناتك براب م كالمك
Artinya:
“Perbanyaklah kebaikanmu hingga melimpah melampaui apa yang dapat ditimbang oleh orang-orang yang menuntut harta yang kamu miliki. Semoga kebaikanmu melimpah dan sepadan dengan kezalimanmu” (Ihsan, 161).
Abdul Wahid menekankan pentingnya selalu mengingat dan mencatat siapa saja kreditor kita, sebagaimana yang dianjurkan dalam surat Al-Baqarah ayat 282.
“Jika kita tidak dapat menemukan kreditur namun mengetahui jumlah utangnya, maka kita bisa memberi atas nama kreditur tersebut. Jika keadaan keuangan tidak memungkinkan, paling tidak kita perlu meningkatkan kemurahan hati kita agar suatu saat kita bisa menghilangkan utang tersebut.