sarkarinaukrirojgar.com, Jakarta Perbincangan soal bullying kembali memanas setelah muncul kasus di sebuah sekolah di Serpong, Tangsel. Berbicara mengenai pelecehan, psikolog klinis Annisa Mega Radyani mengingatkan para orang tua untuk melakukan tes parenting jika anaknya menjadi pelaku.
“Sangat perlu untuk mengecek apakah seseorang menjadi orang tua atau menguji hubungannya dengan anak tersebut,” kata Annisa.
Nah, ketika orang tua tidak mengetahui anaknya melakukan kekerasan seperti pelecehan, berarti tidak ada komunikasi yang baik di sana, kata Annisa mengutip Antara.
Jika komunikasi berjalan dengan baik, maka penyebab seorang anak menjadi pelaku bullying adalah karena orang tua dapat meningkatkan pendidikan dan komunikasinya dengan anaknya.
Menurut Annisa, proses membimbing dan mendampingi anak juga bisa mencakup bantuan profesional jika diperlukan.
“Jika hubungan orang tua dan anak kurang baik, mungkin lebih baik ada pihak ketiga yang membantu memediasi atau memberikan dukungan, seperti psikolog atau konselor sekolah,” ujarnya.
Para orang tua juga dihimbau untuk meminta anak-anaknya yang menjadi pelaku intimidasi agar bertanggung jawab dan menghadapi konsekuensi atas perbuatannya.
Selain itu, menurut Annisa, orang tua pun harus bertanggung jawab atas kekerasan yang dilakukan anaknya selama anak tersebut berada dalam tanggung jawab dan perlindungannya.
“Penting bagi orang tua untuk mengakui bahwa apa yang dilakukan anaknya adalah kesalahan yang harus ditanggung oleh anak atau dirinya sendiri,” ujarnya.
Oleh karena itu, Annisa menekankan pentingnya mendidik dan membimbing anak dengan baik agar kekerasan tidak menjadi kebiasaan. Jika tidak dicentang, fitur ini akan tetap ada seiring waktu.
“Karena kecenderungan menyiksa orang tidak hanya terjadi ketika anak sudah besar, jika dia tidak dihukum atas perbuatannya maka dia akan merasa bisa melakukannya lagi,” kata Annisa.
Anak-anak yang menindas orang lain perlu direhabilitasi. Oleh karena itu, mereka yang melakukan intimidasi terhadap orang lain harus mendapatkan terapi perilaku, seperti dijelaskan psikiater Efnie Indrianie.
“Anak yang melakukan kekerasan sebaiknya mendapat pertolongan khusus dan tidak mendapat konsekuensi hukuman, melainkan diberikan terapi perilaku,” kata Efnie dalam pesan singkat yang diterima Health sarkarinaukrirojgar.com pada Rabu, 21 Februari 2024.
Sebab, kerusakan otak sering terjadi pada pelaku kekerasan,” kata Efnie menjelaskan pentingnya terapi perilaku bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung ini mengingatkan orang tua yang memiliki anak yang melakukan kekerasan atau perundungan untuk menemui psikolog atau psikiater yang bisa membantu mencegah kerusakan mental anaknya semakin parah.
“Jenis dukungannya adalah bekerja sama dengan tenaga profesional untuk memberikan rehabilitasi agar kerusakan otak tidak bertambah parah,” kata Efnie.