sarkarinaukrirojgar.com, Jakarta Sub-holding gas Pertamina telah menetapkan serangkaian langkah untuk mengoptimalkan penggunaan gas bumi sebagai energi transisi menuju tujuan net zero emisi pada tahun 2060.
Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN Rosa Permata Sari mengatakan PGN menerapkan prinsip keseimbangan tiga pilar kekuatan (trilema) untuk menjawab tantangan tersebut. Trilema energi mencakup keamanan energi (aman dan andal), keadilan energi (terjangkau dan tersedia), dan kelestarian lingkungan (hijau dan bersih).
“Dukungan Pertamina Gas melalui PGN akan memastikan sumber energi dalam negeri yang terdistribusi menjangkau wilayah yang luas dengan pelayanan yang efisien dan efektif,” kata Rosa, Senin (19/2/2024).
Menurut Rosa, untuk menjaga ketahanan energi, PGN optimis akan berperan aktif dalam menjaga ketahanan energi, khususnya penggunaan gas bumi. Dengan jaringan infrastruktur gas bumi sepanjang lebih dari 31 ribu kilometer dan 4 terminal LNG, PGN berperan penting sebagai pengelola jaringan infrastruktur gas bumi terbesar di Indonesia.
Jaringan ini diharapkan dapat menjamin pasokan gas bumi yang andal dan saling terhubung di berbagai wilayah Indonesia. Ke depan, PGN melihat potensi pasokan yang cukup besar di berbagai wilayah antara lain Sumatera Utara, Sulawesi, Kalimantan Timur, dan Papua.
“PGN akan terus mengembangkan infrastruktur energi untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan dimana pasokan gas bumi ke depan didominasi oleh jenis gas alam cair (LNG),” lanjut Rosa.
Berdasarkan prinsip pemerataan energi, PGN berupaya menciptakan kemudahan akses dan keterjangkauan pasokan gas bumi dengan harga terjangkau bagi masyarakat. Dibandingkan energi lain, harga gas alam relatif lebih terjangkau. PGN menawarkan jasa gas bumi dengan kisaran harga $6 hingga $13,87 per MMBTU. Harga ini masih RON 90 (Pertality) 17,3 USD, LPG – 12 KG 26,20 USD dan HSD 41,18 USD.
PGN sangat memperhatikan kelestarian lingkungan, target penurunan emisi yang penting secara global saat ini dan masa depan. Oleh karena itu, PGN ingin menggunakan tenaga gas bumi termasuk LNG sebagai pilihan utama.
Mengingat gas alam merupakan energi yang relatif lebih ramah lingkungan dengan emisi karbon lebih rendah dibandingkan batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. Emisi Karbon Gas Bumi sebesar 59 KG CO2 per MMBTU, LPG (66 KG CO2 per MMBTU), Bensin (72 KG CO2 per MMBTU), Minyak Bumi (77 KG CO2 per MMBTU) dan Batubara (98 KG CO2 per MMBTU).
Menurut Rosa, optimalisasi penggunaan gas bumi pada masa transisi energi penting untuk ketahanan energi. Produksi minyak terus menurun, pipa gas terus berkurang, konsumsi energi semakin hari semakin meningkat, yang pada akhirnya berpotensi meningkatkan impor dan berdampak pada defisit neraca perdagangan.
Oleh karena itu, perlu adanya penggunaan sumber energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan impor energi.
Gas alam merupakan solusi energi alternatif karena cadangan gas alam di Indonesia dan dunia lebih besar dibandingkan cadangan minyak bumi.
Kita tidak bisa bertindak sendiri sebagai organisasi komersial di sektor menengah dan bawah. Kita perlu sinergi, komunikasi yang intensif dan gotong royong seluruh pemangku kepentingan. untuk memberikan pelayanan publik dengan layanan energi yang transparan dan andal,” kata Rosa.
Berkat melimpahnya sumber daya gas, selain didistribusikan ke sektor konsumen yang ada seperti ketenagalistrikan, industri, transportasi jalan raya, UMKM, komersial dan residensial, pemanfaatan gas bumi dapat diperluas ke pengguna gas. Kilang skala besar seperti transportasi laut dan darat, ekstraksi minyak dan pembangkit listrik. Dengan memperluas dan meningkatkan jumlah konsumsi gas bumi dalam negeri, maka multiplier effect yang dialami masyarakat dan negara dirasa lebih tepat.
“Sinergi pemerintah dan pelaku usaha migas berperan penting dalam memastikan rantai pengelolaan pemanfaatan gas bumi berkelanjutan dan berdampak positif dalam jangka panjang,” tutup Rosa.