JAKARTA – Jika Anda mencari “Udang Yesus” di Facebook, Anda mungkin akan menemukan puluhan gambar udang yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) yang dipadukan dengan gambar Yesus Kristus.
Beberapa gambar hiper-realistis ini telah mendapatkan lebih dari 20.000 suka dan komentar. Inilah yang disebut teori “Internet mati”.
Teori “Internet Mati” pada dasarnya menyatakan bahwa aktivitas dan konten di Internet, termasuk media sosial, sebagian besar dibuat dan diotomatisasi oleh “agen kecerdasan buatan.”
Dalam teori “Internet mati”, aktivitas organik manusia di Internet telah digantikan oleh robot dan algoritma. Konten yang kita lihat di jejaring sosial, forum, dan situs web sebagian besar dihasilkan oleh robot yang diprogram untuk meniru aktivitas manusia.
Algoritma juga berperan dalam menyaring dan memilih informasi yang kita terima, sehingga membentuk persepsi kita terhadap dunia.
“Agen” ini dapat dengan cepat membuat postingan dalam bentuk gambar yang dihasilkan AI yang dirancang untuk menarik keterlibatan (klik, suka, komentar) di platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok. Salah satunya, seperti fenomena Shrimp Jesus.
Teori ini memungkinkan “aktor negara atau organisasi tertentu” memanipulasi Internet untuk mengendalikan populasi. Mereka menggunakan bot dan algoritme untuk menyebarkan propaganda, memanipulasi opini publik, dan mengontrol arus informasi.
Kompromi pertanian yang tidak berbahaya atau propaganda canggih?
Sekilas, motivasi akun-akun ini dalam membuat konten AI terlihat jelas: keterlibatan media sosial dan perolehan pendapatan iklan. Jika seseorang berhasil membuat akun, mereka dapat memperoleh pendapatan iklan dari organisasi media sosial seperti Meta.
Fenomena seperti “Udang Yesus” mungkin tampak tidak berbahaya (walaupun aneh). Namun potensi bahaya masih ada di masa depan.
Hal ini penting karena media sosial kini menjadi sumber berita utama bagi banyak pengguna di seluruh dunia. Di Australia, 46% anak berusia 18-24 tahun menjadikan media sosial sebagai sumber berita utama mereka pada tahun lalu. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 28% pada tahun 2022, mengambil alih media tradisional seperti radio dan televisi.
Disinformasi yang digerakkan oleh robot Efek terbesar dari teori “Internet Mati” adalah misinformasi atau manipulasi. Bot dapat mempengaruhi opini publik melalui misinformasi.
Pada tahun 2018, sebuah penelitian menganalisis 14 juta tweet selama periode sepuluh bulan pada tahun 2016 dan 2017. Penelitian tersebut menemukan bahwa bot media sosial secara signifikan terlibat dalam penyebaran artikel dari sumber yang tidak dapat dipercaya. Akun dengan jumlah pengikut yang banyak melegitimasi misinformasi dan disinformasi, menyebabkan pengguna sebenarnya mempercayai, terlibat, dan berbagi konten yang diposting oleh bot.
Seiring dengan terus berkembangnya AI generatif, seperti ChatGPT OpenAI dan model Gemini Google, kualitas konten palsu akan terus meningkat.
Teori Internet mati yang belum terbukti merupakan teori konspirasi yang telah menarik perhatian dan memicu perdebatan mengenai kondisi Internet saat ini. Meskipun ada beberapa fenomena yang mendukung klaim teori ini, seperti peningkatan aktivitas bot, tidak ada bukti konklusif yang dapat membuktikan bahwa sebagian besar Internet telah “mati”.
Bukti teori “Internet mati”: – Peningkatan jumlah akun bot di jejaring sosial.
– Konten buatan AI semakin kompleks dan sulit dibedakan dengan konten buatan manusia.
– Penyebaran disinformasi dan propaganda di Internet.
Sanggahan teori “Internet Mati” : – Aktivitas manusia di Internet masih sangat dominan.
– Bot dan AI ada, namun pengaruhnya terbatas.
– Internet terus menjadi ruang untuk berekspresi, terhubung, dan berinovasi.